Home » , , » WAHAI LGBT! TIDAK ADA AZAB SEBERAT AZAB KAUM NABI LUTH, MAU KAH KALIAN MENGULANGINYA !

WAHAI LGBT! TIDAK ADA AZAB SEBERAT AZAB KAUM NABI LUTH, MAU KAH KALIAN MENGULANGINYA !



KAUM LBGT (Lesbian, Bis3ksual, Homos3ksusl, Transgender) saat ini menjadi pembicaraan hangat berbagai kalangan setelah kebberanian mereka mengibarkan berbai aksinya secara terang-terangan.

Kelompok manusia pengidap penyakit s3ks menyimpang (gender identity disorder) ini secara terang-terangan menyebarkan penyakit mereka ke seluruh elemen masyarakat melalui lobi-lobi politik dan sosial demi mendapatkan hak yang sama dengan orang-orang normal lainnya.

LGBT saat ini bukan isapan jempol belaka, tapi telah menjadi penyakit sosial kronis menular yang harus dicegah dan ditangani secara serius. Pegiat LBGT dengan berbagai cara mencari pembenaran atas penyakit yang mereka derita, dengan mengatakan bahwa LBGT bukanlah penyakit tetapi merupakan hak asasi manusia yang harus diperjuangkan sebagaimana hak-hak perempuan.

Disebukan geliat mereka terhitung lama sejak 1952 melalui DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder)yang awalnya berkesimpulan bahwa homos3ksu4l adalah gangguan sosio phatik. Gangguan tersebut tidak sesuai dengan norma sosial, sehingga merupakan perilaku yang abnormal.

Seiring waktu, DSM III menyatakan bahwa homos3ksu4l bukanlah sebuah gangguan  pada tahun 1973 di Amerika. Sedang WHO (1992) menyatakan, homos3ksual bukanlah suatu penyakit.

Ajaran Islam sebagai undang-undang untuk suatu tatanan hidup mulia, telah menjelaskan hukum bagi segala hal yang terjadi di antara manusia, termasuk persoalan LGBT  tersebut. Ada beberapa istilah dan pembahasan yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqh. Di antaranya bahasan tentang khuntsa, mukhannats dan mutarajjil, liwath, serta sihaq.

Pertama: Khuntsa. Dalam kitab al-Mausuah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah dijelaskan, khuntsa adalah orang yang memiliki dua jenis kelamin, kelamin laki-laki dan perempuan. Jika kelamin laki-laki lebih menonjol maka dia dihukumi sebagai laki-laki dan jika kelamin perempuan lebih tampak, maka dia dihukumi sebagai perempuan (al-Mausuah Juz 36: 265). Sebagaimana berlaku baginya hukum laki-laki atau perempuan setelah diperoleh kejelasan jenis kelamin tersebut. Sebabseseorang tidak mungkin memiliki dua jenis kelamin yang berbeda dalam porsi yang sama.

Kedua: Mukhannats dan mutarajjil. Muhkannats yaitu laki-laki yang meniru wanita dalam penampilan, tingkah laku dan cara bicara. Sebaliknya nama yang disebut terakhir berarti perempuan yang meniru laki-laki dalam penampilan, tingkah laku dan cara bicara.

Tasyabbuh atau meniru seperti ini termasuk hal yang diharamkan dan tergolong dosa besar serta terlaknat (Mausuah FiqhIslamy, Juz 5, hal 129). Hal ini dikuatkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam (Saw)


Dari Ibnu Abbas Radhiyahallahu anhu (Ra) berkata: Nabi melaknat mukhannatsin dari laki-laki dan mutarajjilat dari perempuan. Nabi bersabda: Keluarkan mereka dari rumah-rumah kalian. (HR. Imam al-Bukhari).

Disebutkan dalam kitab al-Fiqhu ala al-Madzahib al-Arbaah (Juz 5 hal. 122), siapapun laki-laki berkelakuan seperti wanita atau sebaliknya, harus diasingkan jauh dari kerabat dan sanak saudara juga dari teman-teman yang telah mempengaruhinya. Sesuai yang diperintahkan oleh  Nabi: Keluarkan mereka dari rumah-rumah kalian.

Ketiga: Liwath (homos3ksu4l). Dalam pengertian fiqh adalah perbuatan keji (fahisyah) seperti yang dilakukan oleh kaumNabi Luth. Sedang sihaq (lesbian) adalah perbuatan (zina) yang dilakukan perempuan dengan perempuan sebagaimana yang dilakukan laki-laki dengan perempuan (al-Mausuah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyyah, Juz 24: 251).

Liwath adalah perbuatan keji yang dilakukan kaum Nabi Luth Alaihis salaam (As) yang tidak pernah dilakukan sebelumnya oleh siapapun. Allah berfirman:


Dan ingatlah Luth ketika berkata pada kaumnya: Apakah kalian melakukan al-fahisyah yang belum pernah dilakukan seorangpun di alam ini. Sungguh kalian mendatangi laki-laki bukan wanita dengan penuh syahwat. Sungguh kalian kaum yang melampaui batas. (QS. Al-Araf [7]: 81).

Senada Ibnu al-Qayyim menerangkan, ketika akibat buruk/dampak dari perbuatan liwaath adalah kerusakan yang besar, maka balasan yang diterima di dunia dan akhirat adalah siksaan yang berat (al-Jawab al-Kafi liman Sa-ala an ad-Dawaa asy-Syafi).

Hukuman berat tersebut berupa adzab yang bertubi-tubi pada pelaku homos3ksu4l dari kaum Nabi Luth. Mereka dibinasakan dengan suara yang keras, dibenamkan ke dalam tanah lalu dihujani dengan batu.


Sungguh mereka terombang-ambing dalam kemabukan mereka (kesesatan). Maka mereka dibinasakan oleh suara keras ketika matahari akan terbit. Maka Kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari sijjil. (QS. Al-Hijr [15]: 72-74).

Tiga bentuk siksaan sekaligus yang ditimpakan kepada pelaku gay dari kaum Nabi Luth menunjukkan beratnya kejahatan yang mereka perbuat. Untuk itu mayoritas ulama (jumhur) sepakat membunuh pelaku perbuatan dosa tersebut, baik pelaku maupun korbannya. Jumhur ulama menyepakati hukum had yang ditegakkan pada mereka haruslah lebih berat daripada had zina. Mereka hanya berselisih tentang cara penegakan hukum had tersebut.

Ibnu Abbas meriwayatkan:


Rasulullah bersabda: Barangsiapa melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah pelaku dan korbannya. (HR. Ibnu Majah).

Melihat beratnya adzab dan hukuman yang harus ditimpakan pada pelaku homos3ksu4l, menjadikan umat Islam tak boleh berpangku tangan membiarkan para pegiat LGBT melakukan lobi sosial dan politik untuk mendapatkan legalitas hukum dan penerimaan dari masyarakat. Karena bisa jadi adzab yang ditimpakan bukan hanya mengenai para pelaku dan pegiat LGBT tersebut, namun juga menimpa manusia yang hanya diam menonton tak berbuat sesuatu apapun.

Allah berfirman:


Dan takutlah kalian pada adzab yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim di antara kalian saja. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat pedih siksaan-Nya. (QS. Al-Anfal [8]: 25).

Masih ada waktu bagi para penganut LGBT, segeralah bertaubat. Minta ampunan Allah. Semoga kalian dikembalikan pada fithrah sesungguhnya.

Sumber : www.hidayatullah.com